BREAKING NEWS

Senin, 14 Oktober 2013

Kiat Hidup Bahagia


 
 
 
Semua manusia yang hidup di bumi ini pastilah ingin bahagia hidupnya, Salah satu syarat orang hidup bahagia itu yaitu jika kita bisa menyelesaikan masalah dalam kehidupan ini. Apa problem kehidupan itu? Sandang, pangan, Papan. Manusia itu akan bahagia jika bisa memakai / membeli pakaian yang pantas dan bagus, Bahagia jika kebutuhan makannya tercukupi, bahagia jika sudah punya tempat tinggal sendiri. Akan tetapi ke 3 kebutuhan tersebut tidaklah cukup! Begitu banyak orang yang sandangnya luar biasa, baju /pakaiannya tidak mau beli di pasar – pasar tradisional belinya harus di mall yang bermerek dan mahal harganya, bagaimana yang makannya tidak mau makan jika tidak makan di restoran, Tempat tinggal yang megah tetapi berakhir dengan bunuh diri. Kesimpulannya sandang, panga , papan tidak semata – mata menjadi kunci kebahagiaan seseorang didunia ini. Kuncinya adalah hati dan perasaan kita. Coba tatkala saat berpuasa waktu berbuka tiba gimana rasanya? Meskipun seteguk teh dan sebiji kurma, begitu nikmat rasanya. Nabi saw bersabda : “Orang yang berpuasa memiliki dua kebahagiaan; kebahagiaan tatkala ia berbuka dan kebahagiaan tatkala ia bertemu dengan Rabbnya.” (HR.Bukhari no. 6938 dan Muslim no. 1945 Maktabah Syamilah).

Ada sebuah pertanyaan : Fulan : Ustadz Mengapa hidup saya ini kok tidak bahagia, rumah , mobil , motor punya, pekerjaan sudah mapan tapi kok belum bahagia ?

Mari kita telusuri terlebih dahulu penyebabnya , ada 3 penyebab yang menjadikan hidup kita bermasalah Diantaranya yaitu :

1. Kita Sedang Jauh / Bergerak menjauh dari Allah SWT.

Ada sebuah kisah, ada seorang yang punya beberapa konter di salah satu mall di kota Surabaya bertanya kepada kami sebut saja :

Fulan : Ustadz akhir – akhir ini kami mengalami penurunan pendapatan dan kerugian, Kenapa ya ?

Ustadz : Gimana dengan sholat 5 waktu anda ?

Fulan : saya sholat tapi selalu ada yang bolong entah itu shubuhnya atau yang lainnya

Ustadz : Gimana hubungan anda dengan orang tua ?

Fulan : Kebetulan orang tua saya tinggal ayah saja dan hubungan kami baik, tapi dulu sebelum ibu meninggal saya pernah bertikai dengan beliau dan belum minta maaf

Ustadz : Coba perbaiki dulu sholat anda yang 5 waktu itu, dan minta maaflah kepada kedua orang tua anda

Fulan : Bagaimana aku bisa minta maaf kepada ibuku , sedangkan belau sudah tiada?

Ustadz : Berziarahlah dan do’akan ibumu

Sahabat ikadi yang dirahmati Allah swt, Jika kita di landa masalah coba cek ibadah kita, Sebelum kita menyalahkan siapa – siapa coba cek hubungan kita dengan Allah swt. Kebiasaan – kebiasaan sholat jama’ah, Tilawah qur’an, bersedekah dsb apakah sudah memudar atau hilang dari kebiasaan hari – hari kita !…. Nabi saw bersabda : Peliharalah Allah, niscaya Allah akan memeliharamu.

Jadi mari kita jaga sholat kita , tilawah qur’an kita 1 lembar 2 lembar yang penting istiqomah sehingga ibadah kita terjaga dan insya Allah kita juga akan dijaga oleh Allah swt.

2. Kita Punya Salah Kepada Manusia Dan Belum Minta Maaf

Jarang sekali orang yang didzolimi mendo’akan kebaikan kepada yang mendzoliminya dengan do’a : “ Ya allah semoga si fulan Engkau beri hidayah “

Yang ada malah mendo’akan kejelekan misal : “ Hati – hati ya, aku tidak bisa membalas semoga Allah yang membalas kejahatanmu kepadaku “ Hal ini tidak diperkenankan, kita malah dianjurkan untuk saling memaafkan. Jika kita punya salah kepada sanak saudara,teman, tetangga maka kita wajib meminta maaf kepada yang bersangkutan. Ada pertanyaan bagaimana jika kita tidak tau keberadaan dan tidak bisa ketemu dengan yang bersangkutan dan bagaimana pula jika yang bersangkutan tidak mau memaafkan kita? Jika kita tidak tau keberadaannnya maka kita berusaha mencari tahu terlebih dahulu, jika berada diberbeda tempat / tidak memungkinkan ketemu, sekarang banyak fasilitas minta maaf dengan menelpon, sms, email, fb dsbnya. Terus bagaimana yang bersangkutan tidak memaafkan kita? Jika yang bersangkutan tidak mau memaafkan kita itu sudah menjadi urusan dia dengan Allah, kewajiban kita adalah meminta maaf.

Maka kenapa rumah tangga kita kurang harmonis, bisnis bangkrut, anak tidak sukses , masalah datang bertubi – tubi ? karena kita punya salah / dosa kepada manusia yang kita belum minta maaf kepada mereka.

3. Kita Diuji Oleh Allah swt

Jika kita tidak termasuk dari yang diatas, ibadah kita bagus, hubungan kita dengan Allah juga bagus, dengan manusia juga baik tapi kok masih saja ada masalah, itu berarti kita diuji oleh Allah swt. Ingat diuji oleh Allah swt ini adalah urutan ke-3 jangan di tempatkan pada urutan yang pertama jika sholat kita masih belum 5 waktu , jarang tilawah, jarang tahajjud , jarang dhuha, jarang berinfaq dan kurang baik kepada sesama kok ada masalah …! Ini berarti bukan ujian melainkan kita ditegur oleh Allah swt. Jika masalah itu adalah ujian dari Allah swt semoga dengan ujian tersebut dosa – dosa kita diampuni dan diangkat derajat kita oleh Allah swt.

Semoga keterangan diatas membuka pola pikir kita semua agar supaya setiap masalah yang menimpah kita, terlebih dahulu kita muhasabah diri dan bertobat kepada Allah swt.

Wallaahu ‘alam bishshowwab

Sumber : www.ikadisurabaya.org

Pribadi Ekstra Kuat


 
 
Pada permulaan dakwah di Mekkah banyak tantangan dihadapi Rasulullah shallallah’alaihi wa sallam dan para sahabat beliau. Di antaranya ancaman dan siksaan fisik. Misalnya beliau pernah dilempari kotoran onta di saat shalat di sekitar ka’bah, diejek, dihinan, diancam bunuh dan seterusnya. Ternyata setelah dakwah berkembang pesat dan beliau harus memimpin langsung peperangan untuk menegakkan agama Allah Subhanahuwata’ala, ujian-ujian fisik itu jauh lebih berat.

Di dalam Ash-Shahihain disebutkan dari Abu Utsman disebutkan, dia berkata, “Di sebagian hari pertempuran itu, Nabi shallallah ‘alaihi wa sallam hanya ditemani Thalhah bin Ubaidillah dan Sa’d (bin Abi Waqqash). Saat itu merupakan saat paling genting dalam kehidupan Rasulullah dan merupakan kesempatan emas bagi kaum musyrikin. Mereka pun tidak menyia-nyiakannya. Mereka memusatkan serangan pada Nabi Muhammad shallallah ‘alaihi wasallam dan berambisi untuk membunuhnya. Beliau dipanah oleh Utbah bin Abi Waqqash dan mengenai sisi beliau. Gigi seri bagian bawah kanan juga terkena dan bibir bawah beliau juga terluka. Abdullah bin Syihab az-Zuhri tampil menghampiri beliau dan memukul dahi beliau. Kemudian datanglah salah seorang dari pasukan berkuda, Abdullah bin Qami’ah, menebaskan pedangnya pada bahu beliau, namun tidak berhasil mengoyak dua baju besi yang beliau pakai. Akibat pukulan tersebut, beliau merasakan rasa sakit lebih dari sebulan. Abdullah bin Qami’ah kemudian memukul bagian atas pipi beliau dengan pukulan yang keras seperti pukulan yang pertama, sehingga dua pecahan perisai yang terbuat dari rajutan mengeram di wajah beliau. Abdullah bin Qami’ah ketika itu berkata, “Rasakanlah, akulah anaknya Qami’ah (Qami’ah maknanya adalah orang yang hina). Sambil mengusap darah dari wajahnya, Rasulullah shallallah’alaihi wa sallam menjawab, “Semoga Allah menghinakanmu.” Demikian sepenggal peristiwa yang dialami Rasulullah di saat perang Uhud sebagaimana disebutkan dalam Sirah Nabawiyah karya Syaikh Shafiyyur Rahman Al-Mubarakfury.

Peperangan dalam arti yang sebenarnya adalah aktivitas yang menguras apa saja. Tenaga, waktu, harta benda, mental dan semuanya tercurah ke sana. Persiapan, pelaksanaan, dan setelahnya, benar-benar menuntut kekuatan ekstra. Fisik harus prima. Mental harus membaja. Rasa takut harus sirna. Dan itu hanya mampu dilakukan oleh manusia-manusia yang memiliki semuanya. Tidak mungkin berani berperang orang yang sakit-sakitan. Tidak berani berperang orang yang sering ketakutan. Tidak berani berperang orang yang lemah iman.

Rasulullah shallallah’alaihi wa sallam berkali-kali berperang melawan orang-orang kafir dan musyrikin dan langsung terjuan di medan laga. Tidak hanya duduk-duduk dan main perintah di belakang meja. Beliau pimpin langsung pasukan dan terus mengobarkan semangat mereka. Di tengah-tengah mereka. Tidak takut desingan senjata. Bisakah peran seperti itu beliau mainkan tanpa persiapanpersiapan sebelumnya? Persiapan jiwa dan raga? Subhanallah. Beliau sangat serius menjaga kebugarannya. Maka Rasulullah dikenal sangat sehat dan prima hingga usia beliau senja. Padahal tugas dakwah dan tugas-tugas rumah tangga beliau sangat banyak, jauh sekali dibandingkan dengan kita. Apa rahasianya? Mari terus kenali beliau khususnya dalam menjaga kekuatan jiwa raga. Beliaulah pribadi yang ekstra kuat tiada bandingnya dalam semua sisi kehidupan manusia. 
 
 
Sumber Gambar: http://agusmupla.wordpress.com

Qurban Bukan Sedekah Daging (Bagian 1)


  

 Ditulis oleh Ust. H. ahmad Mudzoffar Jufri, MA.  

Tanpa banyak disadari, ternyata selama ini telah terjadi pergeseran pemahaman dan penyikapan dari banyak pihak umat Islam terhadap esensi syariah qurban, sehingga menjadi sekadar momen berbagi dan sebatas sarana bersedekah daging. Meskipun dalam qurban terdapat aspek dan dimensi sosial dengan berbagi dan bersedekah, namun itu sama sekali bukanlah esensi dan substansinya. Esensi dan hakekat qurban pada setiap hari raya Idul Adha, seperti yang segera hadir beberapa hari ini, justru terletak pada prosesi penyembelihan salah satu dari tiga jenis hewan ternak, sebagai sebuah ibadah ritual persembahan spesial, wujud penghambaan, wasilah (sarana) taqarrub (pendekatan diri) dan syiar deklarasi tauhid hanya kepada Allah Ta’ala. Sedangkan porsi berbagi atau bersedekah daging dan semacamnya, hanyalah sebatas efek dan konsekuensi saja dari ibadah istimewa ini. Tak beda seperti efek kesehatan misalnya dan semacamnya yang didapat seorang muslim dari ibadah shalat, atau puasa, atau haji, dan lain-lain, yang dilakukannya. Sehingga seseorang yang berqurban dengan niat dan motivasi utama untuk sekadar bersedekah daging, secara umum hampir sama dengan yang menjalankan shalat misalnya dengan niat dan motivasi utama sekadar untuk mendapatkan manfaat kesehatan dari gerakan-gerakan yang terbukti menyehatkan dalam praktik ibadah paling asasi tersebut. Jadi intinya, kita harus menunaikan prosesi penyembelihan hewan qurban, dengan niat dan motivasi utama sebagai ibadah persembahan ritual, bentuk deklarasi iman dan tauhid, dan sekaligus wasilah taqarrub (sarana pendekatan diri) kepada-Nya. Adapun tentang niatan-niatan dan motivasi-motivasi lain seperti bersedekah dan semacamnya, yang juga ada dan menyertai, maka itupun tidak mengapa, selama sifat dan kapasitasnya sebatas sebagai faktor penyerta tambahan, dan bukan yang utama atau asasi.

Tentu saja banyak potensi akibat buruk dan dampak negatif dari dominannya persepsi dan penyikapan qurban sebagai sekadar momen sedekah daging tersebut. Disamping secara sudut pandang syar’i memang tidak benar, kesalahan persepsi itu juga bisa berakibat terabaikannya banyak ketentuan dan syarat ritual ibadah qurban yang menjadikan prosesi penyelenggaraan ibadah spesial hari raya Idul Adha tersebut tidak sempurna atau bahkan bisa lebih fatal lagi, membuatnya tidak sah. Karena bagi yang berpersepsi salah seperti itu, utamanya bila menjadi pengelola qurban, maka yang akan menjadi fokus perhatiannya, hanyalah yang penting hewan tersembelih dengan cara syar’i yang menjadikannya halal dimakan, dikonsumsi dan dibagi. Itu saja. Sedangkan apakah prosesi penyembelihan dan pengelolaan telah memenuhi berbagai syarat ketat dan ketentuan detail yang membuat qurban sah sebagai sebuah bentuk ibadah yang sangat spesial, maka itu semua bisa lepas sama sekali dari kepedulian dan perhatiannya. Dan tentu saja, dari sudut pandang syar’i, itu berbahaya sekali.

SEMBELIHAN (DZABA-IH) DI DALAM ISLAM:

Perlu dipahami dan diingat bahwa, di dalam Islam terdapat dua macam sembelihan. Pertama, sembelihan penghalalan (dzaba-ih dzakah/tadzkiyah), dengan tujuan sekadar agar hasil sembelihan menjadi halal dikonsumsi. Kedua, sembelihan ritual (dzaba-ih nusuk/‘ibadah), sebagai ibadah persembahan yang merupakan bukti penghambaan dan ketaatan kepada Allah, dalam rangka menjalankan syariah-Nya dan mengikuti sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Dimana antara kedua jenis sembelihan tersebut, terdapat banyak sekali perbedaan yang sebagian besarnya sangat esensial dan substansial. Baik dalam hakekat masing-masing, konsekuensi syar’inya, dimensinya, prosesinya, syarat-syaratnya, dan hal-hal lainnya.

Dalam sembelihan penghalalan (dzaba-ih dzakah/tadzkiyah), masalah utamanya hanya terkait dengan apakah hasil sembelihan itu halal atau haram untuk dimakan dan dikonsumsi. Dan untuk tujuan itu syaratnya sangat sederhana sekali. Yakni cukup dengan tiga syarat saja, yaitu: satu, hewan yang disembelih tidak termasuk yang haram dimakan; dua, penyembelihnya seorang muslim; dan tiga, disebut nama Allah saat penyembelihan, minimal dengan ucapan bismillah. Sedangkan dalam sembelihan ritual ibadah (dzaba-ih nusuk/’ibadah), masalah utamanya terkait dengan apakah sembelihan yang ditunaikan telah sah ataukah tidak sebagai bentuk ibadah persembahan kepada Allah Ta’ala, sesuai syarat-syarat detail dan rinci yang telah ditetapkan. Bahkan lebih dari itu, masalahnya juga masuk dalam ranah sunnah atau bid’ah, dan lebih jauh lagi sampai ke wilayah tauhid atau syirik. Dimana jika benar-benar sesuai dengan syarat dan ketentuan ketat yang ditetapkan, sembelihan ritual ibadah adalah merupakan bentuk deklarasi tauhid pelakunya. Sementara itu bila menyalahi syarat dan ketentuan, sembelihan ritual yang dilakukan seseorang tidak hanya tidak halal dan tidak sah, atau juga bid’ah, melainkan bahkan bisa merupakan sebuah bentuk kesyirikan dan prilaku penyekutuan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan demi sah apalagi sempurnanya pelaksanaan sembelihan ritual ibadah, syarat-syarat yang harus dipenuhi tidaklah sesederhana sembelihan biasa yang dengan tujuan sekadar agar dagingnya halal dimakan saja, melainkan sangat ketat, detail dan banyak sekali, sebagaimana yang bisa dilihat dalam contoh syarat-syarat ritual pelaksanaan penyembelihan hewan qurban yang insya-allah akan disebutkan dibawah nanti.

Dan bila sifat sembelihan penghalalan sangat longgar sekali terkait dengan macam-macamnya, kebutuhan atau tujuannya, jenis hewannya, kriteria-kriterianya, momen atau waktunya, tempat dan lain-lainnya, maka dalam hal sembelihan ritual ibadah, sifatnya sangat terbatas sekali. Dimana hanya ada tiga jenis saja sembelihan ritual ibadah yang dituntunkan dan dibenarkan di dalam ajaran Islam kita. Dan ketiganya adalah: sembelihan qurban, sembelihan aqiqah dan sembelihan haji, yang biasa dikenal dengan nama hadyu atau dam. Sehingga semua bentuk sembelihan persembahan, diluar ketiga jenis tersebut, yang tak jarang dilakukan sebagian masyarakat sebagai syarat ritual bagi terwujudnya kepentingan dan hajat tertentu dalam hidup mereka, adalah merupakan bentuk kebid’ahan, penyimpangan dan bahkan kesyirikan. Seperti misalnya sembelihan-sembelihan persembahan yang acapkali dijadikan sebagai syarat ritual bagi beragam hajat hidup semisal penyembuhan penyakit, percepatan jodoh, perlindungan diri atau tempat, pelancaran bisnis, pensuksesan karir, pendirian rumah atau gedung apapun, pembangunan jembatan, penolakan bala’, “pensedekahan bumi”, dan lain-lain.

IBADAH RITUAL SPESIAL

Dalam pelaksanaan syariah qurban terdapat tiga aspek dan dimensi utama. Pertama, aspek atau dimensi ritual; kedua aspek atau dimensi syiar; dan ketiga aspek atau dimensi sosial. Ketiga aspek dan dimensi tersebut tentu saja penting, dan sebisanya harus diupayakan agar diwujudkan semuanya. Namun yang merupakan inti, esensi dan substansi dari syariah qurban ini tetaplah dimensi ibadah ritualnya, dan sama sekali bukan aspek sosialnya. Maka aspek dan dimensi inilah yang harus menjadi landasan niat dan dasar motivasi utama setiap pequrban, sekaligus yang juga harus mendominasi persepsi, orientasi, dan penyikapan setiap pengemban amanah penyembelihan qurban dari masyarakat, baik itu panitia qurban di masjid-masjid, lembaga-lembaga sosial, maupun yang lainnya. Dan itu harus dibuktikan dengan perhatian yang lebih diutamakan dan diprioritaskan terhadap aspek pemenuhan syarat-syarat yang menjamin sah dan atau sempurnanya prosesi penyelenggaraan qurban dalam kapasitasnya sebagai ibadah ritual spesial, disamping merupakan syiar utama hari raya Idul Adha, sebelum perhatian terhadap aspek pemanfaatan dan pendistribusian yang bersifat sangat longgar sekali, dimana di dalamnya terdapat unsur sedekah dan berbagi, yang hanya merupakan salah satu saja dari beragam bentuk pemanfaatan dan bermacam sasaran pengalokasian hasil sembelihan hewan ibadah qurban.

Mungkin demi menegaskan dominan, kental dan spesialnya aspek ritual ibadah tersebut, sehingga Allah Ta’ala menggandengkan dan mensejajarkan perintah berqurban serta ibadah menyembelih, dengan perintah dan ibadah ritual nomor satu di dalam Islam, yakni shalat! Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Maka dirikanlan shalat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah (karena Tuhanmu pula)” (QS. Al-Kautsar [108]: 2). “Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadah sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam; tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku, dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (kepada Allah)” (QS. Al-An’am [6]: 162).

SYIAR UTAMA IDUL ADHA

Salah satu aspek sangat penting yang harus diperhatikan dan diupayakan agar diwujudkan dalam prosesi pelaksanaan ibadah qurban, adalah sifat dan kapasitasnya sebagai syiar utama hari raya Idul Adha. Karena memang qurbanlah amalan yang paling utama, mulia dan istimewa diantara amalan-amalan hari raya ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Tiada satu amal pun yang dilakukan seorang anak manusia pada Yaumun-Nahr (hari raya qurban) yang lebih dicintai oleh Allah selain menumpahkan/mengalirkan darah (hewan qurban yang disembelih). Maka berbahagialah kamu karenanya” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al-Hakim dengan sanad yang shahih). Dan perlu diingat serta diperhatikan bahwa, aspek syiar paling utama dari ibadah qurban yang dimaksud itu adalah pada prosesi penyembelihannya, dan bukan pada pendistribusiannya misalnya atau yang lainnya. Karena memang prosesi penyembelihanlah yang menjadi esensi dan substansi utama ritual ibadah dan syariah berqurban ini. Dimana untuk menguatkan makna tersebut, dalam hadits dimuka, Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sampai sengaja memilih ungkapan bahasa yang sangat vulgar untuk membahasakan qurban sebagai amal ibadah yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala di hari raya Idul Adha, yakni mengungkapkannya dengan kata-kata “ihraqid dam/iraqatid dam”, yang berarti menumpahkan/mengalirkan darah (hewan qurban yang disembelih).

Oleh karena itu penting sekali menjadi perhatian besar semua pihak yang berkepentingan, baik pequrban sendiri, para panitia maupun khususnya lembaga-lembaga sosial pengemban amanah qurban kaum muslimin bahwa, kepentingan menyemarakkan dan apalagi tujuan menghidupkan syiar ibadah dan sunnah penyembelihan hewan qurban, harus menjadi salah satu faktor pertimbangan utama dalam penyebaran hewan qurban yang tersedia dan pelaksanaan penyembelihannya. Disamping itu janganlah semangat pengoptimalan pemberdayaan dan pelipat gandaan manfaat pendistribusian, sampai mengorbankan dan menghilangkan aspek syiar dari prosesi ritual penyembelihan hewan qurban. Sebagai sekadar contoh misalnya, salah satu bentuk pengelolaan qurban, yang paling berpotensi bisa “menghapus” aspek dan dimensi syiar dari ritual penyembelihan hewan persembahan ini, adalah proyek pengalengan dan pengkornetan daging qurban. Secara sudut pandang syar’i, sebenarnya pengalengan dan pengkornetan ini bisa saja tetap ditolerir dan dibolehkan. Apalagi bila dilihat dari sudut dan aspek pemberdayaan serta pengoptimalan manfaat.

Namun ada dua hal yang wajib diperhatikan disini. Pertama, pengawalan terhadap proses penyembelihan dan pengelolaan, haruslah ketat, demi memastikan termenuhinya syarat-syarat dan terlaksananya ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, dan agar jangan sampai ada yang dilanggar, utamanya bila pelanggaran bisa berakibat tidak sahnya sembelihan hewan sebagai bentuk amal ibadah ritual persembahan kepada Allah. Kedua, meskipun ditolerir, namun metode pengalengan dan pengkornetan tetap tidak dibenarkan bila sampai dijadikan sebagai kaidah dan prioritas utama dalam pelaksanaan dan pengelolaan qurban. Kapasitas dan porsinya seharusnya hanya sebagai semacam “pengecualian” saja. Sehingga prosentase hewan qurban yang dimasukkan dalam proyek pengalengan dan pengkornetan, tetaplah harus lebih kecil daripada yang diselenggarakan dengan cara dan sistem konvensional biasa seperti yang dikenal selama ini. Karena jika prosentase yang dikalengkan dan dikornetkan lebih besar apalagi bila malah semuanya, dimana pelaksanaannya akan terpusat pada satu, dua atau tiga titik lokasi saja misalnya, maka akibat buruk dan dampak negatifnya akan sangat dahsyat sekali. Soalnya dengan demikian, berarti kesemarakan syiar ritual ibadah dan sunnah penyembelihan hewan qurban, akan otomatis hilang dan sirna, atau setidaknya sangat minim sekali di tengah-tengah masyarakat. Dan tentu saja kondisi seperti ini tidak boleh dan tidak dibenarkan terjadi!

Sumber Gambar: Dokumentasi Qurban 1433H Lembaga Manajemen Infaq (LMI)
 
Copyright © 2014 SEKOLAH ISLAMI SIDOARJO.